Komputrobotika

Belajar Programming, AI & Teknologi Masa Depan

Social Media Sled Dog - Nasib Para Konten Kreator Media Sosial

Media Sosial

Ditulis oleh Reza Ervani pada 21 June 2025 05:20


(Sebuah refleksi tentang perlombaan tanpa garis finis antara algoritma, perhatian, dan kualitas karya)

Pendahuluan – “Kreator Sleddog” di Era Gulir-Tanpa-Akhir

Istilah sleddog dalam balap anjing salju merujuk pada hewan pekerja yang berlari sekuat tenaga menarik kereta, terus dipacu, jarang sempat berhenti. Begitulah banyak kreator Facebook, TikTok, atau Reels hari ini: terpacu algoritma engagement, terjebak dalam sprint 24 jam—tanpa waktu merenung apakah yang mereka hasilkan masih punya nilai, makna, atau kelayakan untuk dikenang.

1. Ledakan Angka, Penyusutan Makna

  • Saat ini akun media sosial yang aktif adalah sebanyak 5,24 miliar — ini berarti mencakup lebih dari 60 % populasi dunia — dan masih tumbuh 4,1 % per tahun (datareportal.com).
  • Rata-rata pengguna global menghabiskan 2 jam 23 menit per hari di media sosial, setara sepertiga waktu daring mereka (datareportal.com).
  • Ditotal, umat manusia kini “membakar” 14 miliar jam tiap hari menatap feed — jadi sekitar 1,6 juta tahun waktu manusia hilang dalam satu kali rotasi bumi (datareportal.com).
  • Angka-angka ini memecahkan rekor produktivitas platform, tetapi bukan jaminan kualitas konten ikut naik.

2. TikTok: 95 Menit yang Menggeser Semuanya

Saat ini TikTok memimpin kompetisi atensi: rata-rata global 95 menit/hari, hampir dua kali Instagram (62 menit) dan tiga kali X/Twitter (30 menit) (backlinko.com). Di Indonesia bahkan tembus 45 jam per bulan (≈ 9 % waktu terjaga) (datareportal.com). Dengan jeda sekilas antar-video < 2 detik, “kreator sleddog” dipaksa memproduksi klip ultra-pendek, sensasi instan, minim riset.

3. Motivasi Pengguna Berubah, Algoritma Mengokohkannya

Hanya 50,8 % pengguna kini memakai media sosial untuk “menjaga silaturahmi”; posisi kedua justru “membunuh waktu” (filling spare time) (datareportal.com). Imbal baliknya jelas: kreator yang menyajikan konten cepat, lucu, triv­ial—bukan yang mendalam—lebih sering diangkat ke beranda.

4. Ketika “Berita” = Konten Influencer tanpa Kredensial

Studi Pew-Knight 2024 mencatat 37 % pengguna TikTok rutin mendapat berita dari influencer, dan 84 % influencer berita itu tak punya latar organisasi jurnalisme apa pun (pewresearch.org). Ketika fakta dan opini bercampur, kreator kian tergoda memilih dramatisasi ketimbang verifikasi.

5. Edukasi: Tertinggi — Namun Turun & Tertutup Hiburan

Di TikTok, sektor edukasi memang masih mencatat engagement paling tinggi (4,9 %), tetapi angkanya menurun dibanding tahun sebelumnya, menandakan ruang pendidikan makin sempit di antara gelombang hiburan viral (socialflyny.com).

Pada sisi penonton muda, laporan Ofcom 2025 menunjukkan baru 48 % anak-anak 3-17 tahun yang menonton video “untuk belajar atau membantu PR”, meski tren naik dari 42 % di 2023 (ofcom.org.uk). Jumlah ini tetap kalah oleh konten livestream dan komedi yang terus mendominasi.

6. Efek Domino bagi Kreator

  1. Siklus produksi toksik – Untuk mengejar FYP, kreator mengunggah lebih sering, durasi lebih pendek, riset dangkal.
  2. Over-index pada topik sensasional – Konten clickbait, sindiran, atau drama personal melonjak karena algoritma membaca retention 3 detik pertama.
  3. Erosi arsip budaya – Video pendek tanpa konteks jarang terdokumentasi layak; sulit dirujuk akademisi atau jurnalis di masa depan.
  4. Kelelahan kreator – Layaknya anjing penarik kereta, kecepatan makin tinggi, tetapi “jarak tempuh nilai” justru memendek.

7. Mengapa Ini Masalah Sejarah?

Budaya tercatat lewat karya panjang: buku, film dokumenter, tulisan riset. Konten 15 detik yang besok tenggelam oleh feed baru sukar menjadi sumber sejarah. Jika tren ini dibiarkan, ada risiko—kelak sejarawan abad 22 hanya menemukan potongan tarian, prank, atau deretan voice-over AI tentang skincare, tanpa tahu apa yang benar-benar dipikirkan generasi kita.

8. Bisakah Roda Diperlambat?

  • Re-desain algoritma berbasis dwell time panjang – Platform bisa memberi bobot lebih pada konten yang ditonton ≥ 30 detik atau di-save.
  • Insentif finansial untuk seri edukatif – Dana kreator tematik (mirip #LearnOnTikTok) perlu diperluas, bukan dihentikan.
  • Media pengarsipan khusus untuk konten-konten berkualitas – Setiap video bermakna diarsipkan di pustaka digital publik dalam resolusi asli, disertai metainformasi.
  • Literasi penonton – Dorong sekolah & komunitas mengajarkan “algorithm awareness” - semakin cepat anda menonton sesuatu, semakin dangkal kualitas konten yang dibuat

Penutup

Nasib sleddog ditentukan bukan hanya oleh kusir (platform) tetapi juga penumpang (penonton). Selama metrik utama adalah gulir dan like, kreator akan terus berlari menelurkan konten serba instan.

Merawat kualitas berarti memperlambat — menambah konteks, durasi, juga riset— sebuah keputusan yang mungkin menurunkan impresi jangka pendek, tetapi menambah daya waris jangka panjang. Bila kita ingin generasi depan membaca jejak digital yang bisa dibanggakan, kita semua perlu berhenti sejenak, melepas harness, dan bertanya: “Apakah video berikutnya layak dikenang?”

*) Penulis Reza Ervani bin Asmanu - adalah Guru al Quran, Praktisi LINUX dan Open Source juga Pendidik dan Programmer Profesional


Catatan: semua statistik bersumber dari laporan DataReportal 2025, Pew Research Center 2024/25, Ofcom Children’s Media Literacy 2025, dan analisis sektor pendidikan TikTok 2024 yang dikutip di atas.

← Kembali
Iklan
iklan1
Tautan Terkait